Tokoh Sentral diTasikmalaya Makamnya diziarai ribuan Orang Setiap Hari. Dalam sejarah Islam di Nusantara, nama Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan menempati posisi penting sebagai salah satu tokoh sentral dalam penyebaran dan pengembangan Islam, khususnya di wilayah Tatar Sunda.
Ia dikenal bukan hanya sebagai ulama sufi yang alim dan karismatik, tetapi juga sebagai pionir sistem pendidikan pesantren di daerah Cirebon, Kuningan, Garut, hingga Sukapura (Tasikmalaya).
Berbekal keilmuan mendalam dan jejaring luas dengan ulama-ulama besar di Aceh, Mekkah, dan Madinah, Syeikh Abdul Muhyi memilih jalan pendidikan dan budaya (kultural) sebagai sarana dakwahnya.
Ia menghindari jalur konfrontatif atau peperangan, dan lebih memilih membangun masyarakat melalui pendidikan Islam, moralitas, dan penguatan spiritualitas umat.
Kontribusinya terhadap perkembangan Islam di Nusantara sangat signifikan. Melalui dakwahnya, Islam tidak hanya menyebar secara masif, tetapi juga berakar kuat di hati masyarakat Sunda.
Ia menjadi simbol transisi dari masa konversi Islam menuju fase intensifikasi keilmuan Islam—yakni memperdalam pemahaman, memantapkan iman, dan membentuk perilaku umat sesuai nilai-nilai Islam.
1. Geneologi dan Latar Keluarga
Syeikh Abdul Muhyi lahir pada tahun 1650 M di Kotapraja Mataram Islam, dari keluarga priyayi religius yang masih memiliki darah bangsawan Sunda-Galuh.
Ayahnya, Sembah Lebe Wartakusumah, adalah seorang Penghulu (pegawai keagamaan) yang pernah mengabdi di Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Mataram.
Sedangkan ibunya, Raden Ajeng Tangenjiah, merupakan keturunan bangsawan Mataram yang berjalur nasab kepada Syeikh Ainul Yakin (Sunan Giri I).
Perpaduan dua garis keturunan—keulamaan dan kebangsawanan—membentuk pribadi Syeikh Abdul Muhyi yang cerdas, tegas, dan berwibawa.
Sejak kecil, ia hidup di tengah atmosfer keagamaan yang kuat, sekaligus mengenal dunia pemerintahan dan sosial budaya masyarakat Jawa dan Sunda.
Namun, masa kecilnya diwarnai kondisi politik yang tidak stabil karena kekuasaan Sultan Amangkurat I (1646–1677) yang dikenal keras terhadap para ulama dan oposisi.

2. Masa Pendidikan dan Perjalanan Keilmuan
Sejak muda, Abdul Muhyi telah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan dalam menuntut ilmu. Ia memulai pendidikan agamanya di lingkungan Pesantren Ampel Denta, peninggalan Sunan Ampel di Surabaya.
Di pesantren ini, ia mendalami berbagai disiplin ilmu: tauhid, fikih, tafsir, akhlak, dan tasawuf.
Namun, situasi politik Mataram yang kacau mendorongnya untuk mencari ketenangan dan memperdalam keilmuan di luar Jawa.
Pada usia 19 tahun (1669 M), ia berniat menunaikan ibadah haji ke Mekkah sekaligus belajar ke para ulama besar di pusat dunia Islam.
a. Singgah di Aceh dan Berguru pada Syeikh Abdul Rauf al-Singkili
Perjalanan ilmunya dimulai dengan singgah di Aceh Darussalam, pusat studi Islam terbesar di Nusantara kala itu. Di sana, ia berguru kepada Syeikh Abdul Rauf al-Singkili (Teungku Syiah Kuala), seorang ulama besar dan mursyid Tarekat Syathariyah.
Di bawah bimbingan ulama Aceh ini, Abdul Muhyi mendalami tafsir, fikih, dan sufisme, serta menerima ijazah Tarekat Syathariyah.
b. Melanjutkan ke Irak dan Mekkah
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di Aceh, ia berangkat menuju Irak, berziarah ke makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Qadiriyah.
Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah dan Madinah (Haramayn). Di Mekkah, ia berguru pada ulama-ulama terkemuka seperti:
- Syeikh Ibrahim al-Kurani, murid dari Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, pemimpin Tarekat Syathariyah;
- Syeikh Hasan al-Hajam;
- Dan sempat bertemu dengan Syeikh Yusuf al-Maqassari, ulama besar asal Sulawesi.
Pada tahun 1678, Syeikh Abdul Muhyi menerima ijazah kemursyidan Tarekat Syathariyah, yang menandai dirinya sebagai mursyid resmi saat kembali ke Nusantara.
3. Kembali ke Tanah Air dan Awal Dakwah
Sekitar tahun 1679 M, setelah hampir satu dekade menuntut ilmu di Timur Tengah, Syeikh Abdul Muhyi kembali ke Nusantara.
Ia singgah di Aceh untuk berpamitan dengan gurunya, Syeikh Abdul Rauf al-Singkili, lalu berziarah ke Pesantren Ampel Denta di Jawa Timur sebelum menetap di Tatar Sunda.
Ia menikah dengan Raden Ayu Bekta, putri dari Sembah Dalem Sacaparana, bangsawan Sukapura (Tasikmalaya).
Pernikahan ini semakin memperkuat posisinya di kalangan menak (bangsawan) Sunda, sekaligus membuka jalan dakwah dan pendidikan Islam di wilayah barat Jawa.
4. Perintisan Pesantren dan Dakwah di Berbagai Wilayah
a. Kuningan: Basis Awal Dakwah (1678–1685)
Daerah pertama yang menjadi pusat dakwahnya adalah Darma Kuningan. Wilayah ini dipilih karena strategis—berdekatan dengan Kesultanan Cirebon dan memiliki komunitas muslim yang berkembang.
Selama delapan tahun, Syeikh Abdul Muhyi memusatkan aktivitasnya pada pengajaran agama, pembinaan santri, dan penyebaran Tarekat Syathariyah.
Dari pesantrennya di Kuningan, lahir generasi penerus dakwah Islam seperti KH Hasan Maolani, pendiri Pesantren Kedung.
b. Garut Selatan: Dakwah di Tengah Masyarakat Sunda Wiwitan
Setelah itu, ia berpindah ke Garut Selatan, tepatnya daerah Pameumpeuk dan Batuwangi. Di wilayah ini, Islam belum sepenuhnya diterima karena masih kuatnya pengaruh kepercayaan Sunda Wiwitan dan peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Dengan pendekatan yang lembut dan kultural, Syeikh Abdul Muhyi berhasil memperkenalkan Islam secara damai, membangun komunitas muslim, dan mendirikan pesantren kecil yang menjadi cikal bakal penyebaran Islam di Garut Selatan.
Menariknya, di Garut pula ia bertemu kembali dengan jejak ayahnya, Lebe Wartakusumah, yang lebih dahulu menetap di Kampung Dukuh dan mendirikan komunitas religius di sana.

c. Sukapura (Tasikmalaya): Pamijahan Sebagai Pusat Dakwah dan Pendidikan
Puncak kiprah dakwah Syeikh Abdul Muhyi terjadi ketika ia menetap di Sukapura (Tasikmalaya), khususnya di daerah Pamijahan. Di sinilah ia mendirikan pesantren besar yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Karang, dan menjadikan Pamijahan sebagai pusat pendidikan Islam dan tarekat Syathariyah.
Nama “Pamijahan” sendiri memiliki dua makna:
- Secara sosial-ekonomi berarti tempat “mijahkeun lauk” (budidaya ikan),
- Secara simbolik berarti “tempat penyemaian kader”—yakni tempat mencetak santri dan ulama.
Di Pamijahan inilah, Syeikh Abdul Muhyi menetap hingga akhir hayatnya. Ia tidak hanya mendidik para santri dalam ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, kerja keras, kemandirian, dan cinta tanah air.
5. Hubungan dengan Syeikh Yusuf al-Maqassari
Pada tahun 1681, Syeikh Abdul Muhyi sempat bertemu kembali dengan Syeikh Yusuf al-Maqassari, yang saat itu sedang dikejar oleh VOC Belanda.
Pertemuan ini menjadi momentum penting, karena keduanya memperkuat sanad dan silsilah Tarekat Syathariyah di Nusantara.
Dari pertemuan tersebut, Syeikh Abdul Muhyi mendapatkan penguatan spiritual dan legitimasi intelektual.
Setelah Syeikh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan (1684), Syeikh Abdul Muhyi melanjutkan perjuangan dakwah dan pendidikan Islam di Jawa Barat.
6. Peran Sosial dan Kultural
Syeikh Abdul Muhyi bukan hanya seorang ulama, tetapi juga pemimpin masyarakat dan pejuang keadilan sosial. Ia memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan menentang kesewenang-wenangan para penguasa lokal.
Dalam aktivitas dakwahnya, ia selalu menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan persaudaraan umat.
Karena jasa dan wibawanya, pemerintahan Mataram dan Kadipaten Sukapura memberi penghormatan dengan menjadikan daerah Pamijahan sebagai daerah perdikan—yakni wilayah bebas pajak yang dikhususkan untuk pengembangan agama.
Ia juga diangkat sebagai Mufti Sukapura, posisi tertinggi dalam bidang keagamaan di wilayah itu.
7. Warisan Intelektual dan Pesantren
Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan warisan yang sangat besar, baik berupa pesantren, tarekat, karya ilmiah, maupun jaringan murid dan keturunan ulama.
Salah satu
karya monumentalnya adalah Kitab Bayân al-Qahhâr, karya tasawuf yang mengadaptasi ajaran Martabat Tujuh dari Ibnu Arabi dan Al-Jilli.
Berbeda dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang menuai kontroversi, ajaran versi Abdul Muhyi justru diterima luas oleh ulama Nusantara.
Pesantrennya di Pamijahan menjadi pusat kajian tasawuf, fiqh, dan tafsir, serta tempat penggemblengan calon ulama. Dari sinilah muncul banyak tokoh penerus, di antaranya:
- Syeikh Haji Muhyiddin (putranya), penerus tarekat Syathariyah;
- Syeikh Sayyid Faqih Ibrahim, pendiri pesantren di Talaga Manggung;
- KH Khatib Muwahhid, ulama Pamijahan.
Dari mereka, berdirilah pesantren-pesantren di wilayah Garut, Ciamis, Kuningan, Majalengka, hingga Sukabumi dan Cianjur, yang sebagian masih eksis hingga kini.
8. Akhir Hayat dan Pengaruh Abadi
Syeikh Abdul Muhyi wafat pada tahun 1730 M dalam usia sekitar 80 tahun, dan dimakamkan di Pamijahan, Tasikmalaya.
Makamnya kini menjadi lokasi ziarah religi yang ramai dikunjungi jamaah dari berbagai daerah di Indonesia.
Lebih dari sekadar makam, Pamijahan adalah simbol warisan intelektual dan spiritual.
Di sana masih berdiri masjid tua, gua Safarwadi (tempat khalwat dan belajar para santri senior), serta peninggalan-peninggalan lain yang merekam jejak perjuangan beliau.
Warisan pemikiran dan pesantren Syeikh Abdul Muhyi telah menanamkan fondasi kuat bagi tradisi keilmuan Islam di Tatar Sunda.
Ia telah mewariskan sistem pendidikan berbasis moral, ilmu, dan spiritualitas yang bertahan ratusan tahun, dan terus melahirkan generasi santri berakhlak mulia.
Penutup
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan bukan hanya seorang ulama besar, tetapi arsitek peradaban Islam di Tatar Sunda.
Melalui pendekatan kultural, ia berhasil menanamkan Islam yang damai, rasional, dan berakar dalam budaya lokal.
Dengan kebijaksanaan, keteguhan, dan keluasan ilmunya, ia membangun masyarakat melalui pesantren—bukan peperangan.
Warisannya tetap hidup hingga kini dalam bentuk pesantren, tarekat, nilai-nilai pendidikan, dan keteladanan moral yang terus menginspirasi umat Islam Indonesia. Muhamadjen.com
“Ilmu bukan hanya untuk dipelajari, tetapi untuk diamalkan dan diwariskan bagi kemaslahatan umat.”
— Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan (1650–1730)
Referensi : Yuk Kenali Sosok Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan(uinsgd.ac.id)
